WARNA kain dasar yang tidak biasa, teduh dan memancarkan aura keanggunan, daya tarik utama batik tanah liat (clay) Minangkabau yang khas. Warna dasar coklat krem ​​atau cahaya cenderung yang diperoleh dari perendaman kain dalam larutan tanah liat cair.

Di atasnya dicat dengan berbagai motif Minang presisi yang tampak hidup dengan pewarna alami. Motif biasanya diambil dari berbagai ukiran ditemukan di rumah gadang.

Sebut saja, misalnya, motif itiak pulang Patang, kuku kaluak, atau mengacu pada gambar ikon Sumatera Barat sebagai menara jam di Bukittinggi dan Tower House dengan bagonjong atap. Motif Minang dilukis di kain memiliki makna filosofis tertentu.

Di antara motif kaluak kuku kacang belimbing, keponakan dipandu lap anak, yang berarti bahwa orang tua harus memenuhi kewajibannya kepada anak-anak dan keponakan. Motif yang dicanting atau diaplikasikan di atas kain dengan lilin (malam) yang diimpor dari Jawa.

Proses ini dimulai dengan merendam kain dalam larutan tanah liat cair selama dua hari. Dua hari berikutnya adalah canting dengan lilin atau malam. Selain itu, mengingat pewarna alami dari getah beberapa tanaman.

Misalnya terkandung dalam kulit rambutan dan jengkol kulit untuk hitam dan coklat, gambir ke oranye, ungu untuk manggis, dan kunyit untuk warna kuning. Langkah terakhir, kain batik tanah liat dan kemudian dikeringkan sebelum pengiriman.

Baru populer

Namun, tanah liat batik relatif baru-baru ini populer sebagai salah satu kekhasan dari Minangkabau dalam beberapa tahun terakhir. Karena, sampai sekitar 18 tahun yang lalu liat masyarakat batik tidak diketahui.

Wirda Hanim, pemilik usaha batik tanah liat gambar Monalisa di Padang, memprakarsai upaya untuk mereproduksi batik tanah liat yang sudah langka. Wirda ketika sering mengikuti upacara tradisional di Sumanik, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Sekarang upaya Wirda telah menghasilkan. Dengan tanah liat batik dipasarkan seharga Rp 600.000 hingga Rp 1,4 juta per pisau untuk menembus pasar dengan keyakinan.

Usaha batik tanah liat yang telah dimulai semua telah menyebar ke beberapa daerah di Sumatera Barat. Satu orang harus belajar bagaimana untuk memproduksi batik tanah liat itu adalah Fitra Lusia.

Sekarang, dengan bendera rumah bisnis Ayesha dan Batik Fabric Tanah Liek Inaaya, Fitra mempekerjakan 30 pekerja. Sebagian besar perajin batik tanah liat adalah seorang ibu rumah tangga.

"Rata-rata, setiap orang perajin bisa mendapatkan uang mulai dari Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per bulan," kata Fitra.

Menariknya, pekerjaan kain batik tanah liat dilakukan di rumah mereka. Pengrajin hanya dapat mengambil kain dan kemudian membuat lilin batik di rumah sambil melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga. (Ingki Rinaldi)



Leave a Reply.